Kamis, 18 Oktober 2012

Angka 4 Di Raporku dan Guru-Guru Dalam Kehidupanku

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirikita (at) gmail.com



Hari Guru Sedunia 5 Oktober 2012.  Siapa Saja Guru-Guru Yang Telah Ikut Membentuk Diri Anda Hingga Seperti Saat Ini ? 

Di Facebook, saya mencoba membuat daftar para guru yang paling saya ingat, yang berjasa dalam kehidupan saya selama ini. 

Bukan berarti guru-guru yang lain tidak memiliki jasa, tetapi ada hal-hal khusus yang dapat saya kenang dari mereka.Inilah daftar sebagian guru-guru saya (tidak semuanya berprofesi guru) yang bisa saya ingat :
  

(1) Ibu Suji, guru TK Nasional, di Kajen, Wonogiri. Beliau tinggal di Solo, pulang pergi naik kereta api uap. Bekas lokasi taman kanak-kanak itu kini menjadi bagian dari komplek pabrik jamu Air Mancur, di Kajen. Rumah paling timur, yang dulu dimiliki oleh keluarga Pak Dirjo.

Melihat sosok Ibu Suji tampak dari kejauhan, sudah menerbitkan kegembiraan bagi kami para murid-muridnya. Saat itu saya bersekolah bersama Liliek Dwi Sularyanto (
1c/2b/3c).



(2) Pak Hadi Narwoto, guru saya klas 5 dan 6 SDN 3 Wonogiri. Saat itu ada acara ronda di sekolah, ada beberapa murid lelaki yang diminta untuk berjaga di sekolah. Oleh beliau saya dipercaya untuk membawa kunci lemari sekolah.

Muncul niat jahil, yaitu saya bisa membaca-baca isi rapor teman-teman yang numpuk di lemari. Tetapi juga menemukan buku-buku bacaan menarik yang teman lain tidak memiliki akses terhadapnya.

(3) Pakde Sutono. Ini guru, kakak ibu saya, tinggalnya di Kedunggudel, Sukoharjo, bersama embah saya Martowirono, bayan. Entah siapa yang melakukan, salah satu pojok ruang tamu rumah itu ada rak yang berisi majalah dari Departemen Sosial, juga majalah Penyebar Semangat, dan buku yang paling saya ingat, Babad Pacitan.

Setiap kali dari Wonogiri berkunjung ke Kedunggudel, pojok favorit itu menjadi sasaran : baca-baca komik Phantom dan kartun Pak Klombrot di majalah Penyebar Semangat.

(4) Bapak saya, Kastanto Hendrowiharso. Seorang TNI, tugasnya di Yogya. Sejak klas 4-5 SD, saya hanya punya ayah tiap Sabtu sore sampai Senin pagi. Sebagai anak pemalu, setiap saya butuh dibelikan buku untuk pelajaran atau bacaan, saya menuliskan datanya di secarik kertas. Lalu saya masukkan ke kantong baju seragamnya. Bacaan favorit saat itu, serial Nogososro-Sabukinten. Buku ini sering menjadi pertukaran cerita dengan teman SD saya, Sugeng Sudewo (1a/2c/3a).

Hari Sabtu depan, engga usah ngomong, saat ayah saya tiba di rumah sekitar jam 2 siang (saya jemput di terminal bis), langsung saya membuka-buka tas beliau. Kalau di dalamnya ada buku roman sejarah  karya SH Mintardja tersebut, langsung saya baca. Menjelang Maghrib, buku itu sudah selesai saya baca.

Ada cerita tambahan. Karena terpikat oleh ilustrasi dalam novel itu yang dibuat oleh Kentarjo, saya pernah oleh dimarahi Pak Mulyono Wasto, guru menggambar SMP Negeri 1 Wonogiri. Pasalnya, saat itu dalam karya gambar saya dipojoknya  saya beri simbol "KEN" yang tertulis diputar ke kanan 90 derajat, sehingga membentuk gambar "rumah." 


Pak Mulyono Wasto, yang terkadang masih saya temui ketika sama-sama jalan kaki di pagi hari, menanyai saya :  "Apakah Anda seorang Kentarjo ?" Saat itu pula saya baru bisa ngeh atau faham bila gambar rumah itu merupakan inisial dari sang ilustrator : Kentarjo. Matur nuwun, Pak Mul.

(5) Ibu saya, Sukarni, wiraswastawan. Sebagai istri tentara, ia berlangganan majalah Kancana/Kartika Chandra Kirana. Karena sering mendengar guyonan ayah dan ibu saya, guyonan itu saya catat, lalu saya kirimkan ke majalah itu.

Saat itu saya duduk di klas 1 SMPN 1 Wonogiri (1967), ternyata lelucon yang saya kirimkan itu dimuat dan memperoleh honor. Kalau tidak salah ingat, saat istirahat saya meminjam sepedanya Riyanto (1b/2b/3b), untuk pergi meminta tanda tangan pengesahan ke kelurahan Giripurwo (di Kerdukepik). Kemudian menguangkannya di kantorpos, di Ponten. 


Besar honor untuk dua lelucon sebesar Rp. 200,00. Kalau SPP saya saat itu sebesar Rp. 5,00/bulan, maka betapa besar honor lelucon tersebut. Terkait lelucon itu, pada setiap kesempatan,walau saya mendengarnya dengan malu-malu, senang juga setiap kali ibu saya mengutip isi lelucon saya yang termuat di majalah Kancana itu. Di masa depan, ternyata saya mampu menulis 4 buku tentang lelucon juga !


Bambang Haryanto : Rapor Klas 1B SMP Negeri 1 Wonogiri 1967, Guru yang berpengaruh dalam hidupku : Bapak Sutomo, guru pelajaran administrasi, saat saya klas 1 SMPN Wonogiri. Sebelum masuk SMP, saya sudah dengar betapa beliau ini guru yang galak.Tetapi, entah kenapa, saat tes pelajaran beliau, saya menyontek.Menulis jawaban di telapak tangan. Saya ketahuan, dan nilai rapor saya : 4.Agar tidak menyontek lagi, saya mengadakan "revolusi" belajar. Setiap pulang dari sekolah, tiap-tiap mata pelajaran hari itu saya tulis kembali dalam bentuk butir-butir pertanyaan. Lalu jawabannya pun juga disajikan secara tertulis. Kebiasaan ini akhirnya menjadi kecintaan, hingga kini. Terima kasih, Pak Tomo. 


(6) Bapak Sutomo, guru pelajaran administrasi, saat saya klas 1 SMPN Wonogiri. Sebelum masuk SMP, saya sudah dengar betapa beliau ini guru yang galak.Tetapi, entah kenapa, saat tes pelajaran beliau, saya menyontek.Menulis jawaban di telapak tangan. 

Saya ketahuan, dan nilai rapor saya di catur wulan pertama untuk pelajaran beliau merah : 4 (foto di atas). Syukurlah, di catur wulan ketiga, angkanya sudah menjadi tujuh.

Agar tidak menyontek lagi, saat itu saya mengadakan "revolusi" belajar. Setiap pulang dari sekolah, tiap-tiap mata pelajaran hari itu saya tulis kembali dalam bentuk butir-butir pertanyaan. Lalu jawabannya pun juga disajikan secara tertulis. Kebiasaan ini akhirnya menjadi kecintaan, hingga kini. Terima kasih, Pak Tomo.

(7) Bapak Anggono Yudho. Nama populernya : Pak Gon. Saat saya klas 2a, beliau mengajar klas 3 untuk pelajaran bahasa Inggris. Karena guru bahasa Indonesia berhalangan, beliau masuk kelas saya dan menyuruh murid-murid menulis puisi. 


Beberapa hari kemudian puisi saya ternyata ikut beliau tempelkan di majalah dinding sekolah. Kepala ini terasa "meledak" saat itu dan nyala kegembiraannya masih hidup sampai saat ini.


(8) Bapak Mufid Martohadmodjo, guru bahasa Inggris, saat saya duduk di klas 3B SMPN 1, 1969. Beliau mengumpulkan sebagian muridnya yang beliau pandang menyukai pelajaran tersebut. 

Antara lain, Muhammad Nurdin (kini guru besar di ITB), Aria Nugroho, Esti Kuswandani (keduanya sudah almarhum), saya dan teman lainnya, untuk belajar percakapan bahasa Inggris. 

Dengan menggelar tikar di halaman sekolah, bagian utara. Di bawah pohon waru. Setiap Rabu sore. Saat itu saya menyontek cerita dari ayah saya, tentang penjual arang yang salah faham dalam menanggapi permintaan maaf seorang bule. 

Bule itu bilang, "I'm sorry," tetapi ditanggapi si penjual arang dengan sikap marah. Dengan ucapan : "Ora esuk, ora sore, aku yo wani yen mung padu karo kowe !"

Pak Mufid beberapa bulan lalu masih saya temui di Perpustakaan Wonogiri. Foto di atas dijepret tanggal 27 November 2008.  Bahasa Inggris saya sampai saat ini masih jelek, pernah engga lulus TOEFL. Tetapi embrio semangat untuk memperoleh asupan informasi dunia melalui bahasa itu, tetap membara.

(9) Pak Ibnu, guru aljabar di jurusan mesin STM Negeri 2 Yogyakarta, 1970. Beliau kalau sewot, menyebut kami-kami sebagai berotak "gombal." Dulu sih ya sakit hati, tetapi sebagaimana Nora Ephron atau Caroll Burnett bilang kalau tragedi + waktu = komedi, maka predikat "gombal" itu kini bisa sebagai sumber senyum-senyum nostalgia.

(10) Pak Sukartolo, guru bahasa Inggris, di jurusan mesin STM Negeri 2 Yogyakarta, 1970-1972. Guru yang nyentrik. Walau di STM tidak ada tuntutan kuat untuk menguasai bahasa ini sebagai syarat kelulusan, tetapi benih cinta yang beliau semaikan terhadap bahasa ini terus bersemi di lubuk hati.

(11) Ibu Lily Koeshartini Somadikarta, dosen saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan-Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1980-1984. Kata mutiara dari beliau yang mengutip ucapan Isaac Newton ("berdiri di punggung raksasa") dan Samuel Johnson ("pengetahuan itu ada dua jenis"), selalu terpateri di sanubari ini. 


Juga penerimaan beliau terhadap mahasiswa satu ini, yang sering berkata dan berulah secara tidak lajim, menunjukkan betapa jiwa seorang guru yang mendidik untuk membebaskan, benar-benar tersemat dalam diri beliau.

(12) Juga untuk semua guru, guru bagi kehidupan saya selama ini.


Wonogiri, 18 Oktober 2012

Selasa, 09 Oktober 2012

Jiyono, Potret Sahabat Yang Gigih Memburu Kesembuhan


Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirikita (at) gmail.com



Reuni mini. Wajahnya nampak segar. Suhu tubuhnya terasa lebih hangat ketika saya pegang saat saya berdua berpotret bersama. 

Pemotretnya, Bambang Sadoyo (1b/2b/3b), yang saya sebut sebagai Mas Gembuk. Ketika SMP, bertetangga di Kajen, ayahnya bernama Pak Maryomo yang memiliki radio di mana saya sering ikut menguping siaran pertandingan sepakbola. 

Sebelumnya, untuk memompa semangat juang sobat Jiyono (1c/2c/3d) dalam memperjuangkan kesembuhan, adalah teman kita Singgih Sisworo (1e/2c/3e) berkenan memberikan doa dan motivasi dengan pendekatan relijius.

Turut menyaksikan diskusi dua sahabat lama itu adalah Bambang Sri Hartono, yang merupakan sahabat karib Singgih ketika sama-sama duduk di bangku SMA Negeri 1 Wonogiri. Keduanya tetap berinteraksi dalam perkawanan hingga saat ini.

Reuni mini sebagian murid Angkatan 1969 itu berlangsung di rumahnya Jiyono, Jl. Dewi Sartika, Wonokarto, Kamis malam, 4 Oktober 2012. Bagi diri saya, bisa menemui Jiyono malam itu, rupanya memerlukan cerita yang cukup panjang.

Jiyono dan Singgih, Wonogiri, 4 Oktober 2012
Jiyono Bersama Bambang Haryanto dan Singgih Siworo, Wonogiri, 4 Oktober 2012
Singgih Siworo, Bambang Sri  Hartono dan Bambang Sadoyo, Membezuk Jiyono, Wonogiri, 4 Oktober 2012

Keterangan gambar : Jiyono sedang memperoleh motivasi dari Singgih Sisworo (paling atas), saat berfoto bersama penulis (tengah), dan nampak Singgih, Bambang Sri Hartono dan Bambang Sadoyo menyimak tuturan Jiyono.


Business as usual yang gagal. Nama Jiyono masuk orbit  benak saya baru terjadi pada tanggal 12 Juli 2012.  Di rumahnya Niniek Endang Wuryani (foto), Jl. Pelem, Wonogiri.   

Niniek ini bagi diri saya juga punya “sejarah” unik tersendiri. Saya tahu dirinya, walau tidak kenal, adalah ketika Niniek masih duduk di kelas 5 atau 6 SD VI Wonogiri di Salak. 

Padahal saya bersekolah bersama Sugeng Sudewo, Kustati Srihariti, Aria Nugroho (alm.), Sri Wahyono (alm.), Sri Suparni, Wahyu Handayani, Dwiana Warpindyastuti (alm.), Sukarsih (alm.) sampai Sri Hadini, di SD Negeri III Wonogiri di Sanggrahan.

Entah takdir atau entah apa, kok saya bisa
kluyuran sampai SD VI dan pas melihat Niniek. Dan sejak itu saya tidak melupakannya. Tetapi anehnya, waktu sama-sama saat SMP, nyaris Niniek itu hanya menggoreskan kenangan yang kabur di benak saya.

Sesudah momen 12 Juli 2012 itu kalau Niniek saya sms dengan cerita sekadar mengingatkan betapa mempesona dirinya saat dia masih di SD VI itu hingga kini, ia selalu menjawab : “Rayuan gombal.”

Begitulah, memang calon bahan “gombal” juga yang bisa membuat saya bisa kenalan (lagi) sama Niniek saat itu. Tujuan saya ke rumahnya adalah untuk
laundry jas. Niniek kan punya bisnis rumahan sebagai agen laundry, bernama Ragil Laundry.

Merasa dirinya tidak mengenal saya sebagai sesama murid SMPN 1, saya akan melakukan transaksi business as usual. Saya konsumen dan dia pemberi jasa. Ada pamrih tambahan sedikit : ingin melihat-lihat dirinya, apakah masih mempesona seperti ketika masih imut-imut sebagai murid SD VI di tahun 1966-1967 silam itu.

Skenario itu ternyata tidak berjalan mulus. Begitu memasuki rumahnya Niniek, ternyata sudah ada Sugeng Sudewo, Mas Kentut, juga Niniek, sedang mengobrol di beranda rumah. Rencana saya to do business as usual, ya gagal.

Begitulah yang terjadi. Saat  itu merupakan momen resmi  saya yang murid 1b/2a/3b baru bisa berkenalan dengan murid 1a/2c/3a, yang bernama Niniek Endang Wuryani, 43 tahun sesudah kita lulus dari sekolah yang sama.

Mencatat sepenuh hati. Saat itu Niniek banyak berbagi cerita dengan Dewo. Saya sebagai orang baru, lebih banyak mendengar. Termasuk mendengar betapa beberapa teman kita sudah mendahului menghadap Sang Khalik. Antara lain muncul nama Aria Nugroho sampai EstiKuswandani. Keduanya satu kelas dengan saya di 3b.

Obrolan dari Niniek itu pula yang kemudian menginspirasi saya untuk membuat blog ini. Sebagai upaya mengumpulkan balung pisah dan mencatat teman-teman kita agar tidak begitu saja mudah kita lupakan walau mereka tidak lagi bersama kita.

Keberadaan blog ini juga telah saya kabarkan di situs resmi sekolah kita itu. Bahkan saya sendiri juga mendaftarkan diri di situs sekolah kita tersebut. Agak besar kepala, saat ini saya satu-satunya alumni dari Angkatan 1969yang telah terdaftar. Siapa akan menyusul ?

Upaya saya dalam menemukan teman-teman lama di dunia maya, tidak begitu memuaskan. Di Facebook memang saya menemukan akun Muhammad Nurdin (1b/2c/3b) dan Liliek Dwi Sularyanto (1c/2b/3c). Sayangnya akun kedua teman itu dibiarkan mangkrak, tidak aktif.

Guna mencegah diri saya tidak blangkemen di Facebook, saya memutuskan antara lain untuk bergabung di grup Kasturi, juga alumni SMP Negeri 1 Wonogiri, dari angkatan 1981. Ini satu angkatan dengan bupati Wonogiri saat ini, Danar Rahmanto. 

Agar data dalam blog kita tersebut bisa komplit, saya harus melakukan sesuatu aksi. Naik mesin waktu untuk bisa kembali ke masa lalu. Melakukan riset ke sekolah kita dulu.

Di pertengahan bulan puasa, pada tanggal 6 Agustus 2012,  saya menghubungi tata usaha SMP Negeri 1 Wonogiri. Akhirnya dibantu oleh mBak Ismi Azis, tata usaha, saya memperoleh data murid SMP Negeri 1 Wonogiri Angkatan 1969.

Muncul rasa aneh, juga rasa bahagia dan terharu, ketika bisa kembali menemukan nama-nama teman lama itu. Sebagian memang kabur, bahkan sama sekali tidak ada gambarnya dalam kenangan saya. 

Tetapi suasana hati saya, “saya merasa bahagia sekali” saat itu. Teman yang saya kabari via sms tentang suasana hati saya saat itu adalah Sri Hadi “Gembong” Pramono (1e/2d/3e) yang tinggal di Jakarta.

Kembali ke rumahnya Niniek. Saat itu nama Jiyono muncul dalam obrolannya Niniek. Saya saat itu tidak tahu siapa Jiyono itu. Maklum, kami berbeda kelas sejak klas satu sampai tiga. Saya menemukan data diri Jiyono kemudian dalam daftar murid Angkatan 1969 yang saya miliki.

Pagi hari, 4 Oktober 2012,  sebelum malamnya mengunjungi Jiyono atas ajakan Singgih Sisworo, saya kabarkan niat
tilik itu kepada Niniek. Ia membalas sms berisi kabar :

“Ya dtng aja gak papa, trus karo sopo wae ? Nek aq biyen karo2 konco2 sak mobil, dadi kompak, klo mo bareng2 Singgih kon koordinir mengko aq sing nembung mobile mbk Darini, ning nek ora brng2 yo apik wae, ra msalah.” [Kamis, 4 Oktober 2012 : 08.41.36].

“Yoi, wktu itu  aq sm Ruwanti, Wahyuni, Jarwaningsih, Tarmi, Endang n karo Dodik, bubar jagong Warno kancane dewe mantu, trs lngsng bezuk Jiyono.” [Kamis, 4 Oktober 2012 : 08.55.55].

Dalam obrolan bersama Jiyono malam itu saya mencoba membangkitkan kenangan akan teman-teman kelas 1 c yang kebetulan masih saya ingat. Dari Bambang Pur (“sama-sama di 2a, ia kini wartawan Suara Merdeka”), Liliek Dwi Sularyanto (“saya kenal sejak di TK Nasional, kini jadi kantor Air Mancur, Jl. Pelem, ujung paling timur”), Rosyid Wibowo yang desainer tekstil lulusan seni rupa UNS Solo, Suharyani yang anggun, juga Dwiana Warpindyastuti almarhumah.

Dari data, saya tahu Jiyono itu ayahnya bernama Karyorejono, ahli mebel. Jiyono sendiri lahir 1 November 1954. Rumahnya dulu di Kerdukepik

Domisili dia ini kemudian menjadi pijakan saya untuk mencari tahu letak rumah teman kita juga, yaitu Warsito (1a/2a/3b), yang sama-sama dari Kerdukepik. Parabannya Plentuk. Waktu klas 2a, ia sering menjadi “bulan-bulanan” gojekan oleh Sukarno, asal Salak, anak Sastrowiyono yang TU SMPN 1 saat kita bersekolah dulu itu.

Jiyono malah cerita bahwa teman kita Warsito itu baru saja meninggal dunia. Di Tulung Agung. Konon terlalu memforsir diri dalam bermain tenis. “Mungkin seperti saya,” kata Jiyono yang ketika sehat mengaku sebagai maniak dalam bermain bulutangkis di Girimarto. Karena itulah yang membuat limpanya terganggu.

Ternyata rumah Warsito itu, kalau saya jalan kaki pagi dari Kajen-Wonokarto pp, selalu saya lewati. Beberapa hari yang lalu saya menyambangi kios ibunya, yang kini dikelola kakak perempuan Warsito, di pasar.

Dunia memang sempit. Karena bapaknya Warsito yang tentara itu teman ayah saya. Malah kalau diurut-urut, ada tautan famili yang berasal dari Sukoharjo, terkait dengan Bude Suharni Sukiyo, yang guru Geografi di SM Negeri 1 Wonogiri.

Inti berita : saat  ini adalah 100 hari meninggalnya Warsito. Ia baru pensiun sekitar dua tahun, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Stasiun PT KAI di Tulung Agung. Kita doakan, semoga teman kita itu kini senantiasa tenteram dan sejahtera disisiNya.

Gembong yang  nakal. Di tengah-tengah mengobrol dengan Jiyono, saya kirim-kirim sms ke Niniek, Sri Jarwaningsih dan juga ke Gembong. Menceritakan kondisi Jiyono saat ini.

“Ya syukurlah, salam buat Jiyono,” balas Niniek. [Kamis, 4 Oktober 2012 : 19.41.13].

Sementara Gembong menulis : “Yo sampaikan salamku, doaku semoga beliau cepat sembuh n bisa aktivitas kembali…. Sehat jasmani n rochani. Salamku nggo konco2 disitu yo.” [Kamis, 4 Oktober 2012 : 19.32.47].

Mendengar nama Gembong saya sebut, Jiyono segera mengeluarkan komentar yang lucu. Membuat seisi kamar itu terbahak mengenang masa lalu.

Langsung guyonan Jiyono itu saya sms-kan ke Gembong : “mBong, kowe jarene Jiyono nakal, gawene ngethaki konco2.” [Kamis, 4 Oktober 2012 : 20.46.24].

Kemarin (8/10/2012) dengan dibantu Soetarmi (1e/2d/33), saya juga mengirim kabar kepada Eddy Darmodjo (1a/2b/3a) dan Sugeng Sudewo (1a/2c/3a) yang berdomisili di Jakarta. Kalau longgar, demikian usul-usil saya, silakan ber-sms-ria dengan teman kita Jiyono untuk membesarkan hatinya. 

Malam itu Jiyono baru saja disuntik insulin oleh putrinya yang kini mahasiswi S-2 Jurusan Ilmu Fisika Universitas Gajah Mada. Ia bercerita dengan rasa bangga sebagai ayah, bahwa putrinya itu berkali-kali lulus tes sebagai karyawati perusahaan besar. Termasuk Pertamina.

Tetapi karena lokasi tugasnya harus membuatnya berpisah dengan sang ayah yang membutuhkan perhatian, pekerjaan yang sudah ada genggaman itu tidak diteruskan. Jiyono berharap putrinya itu lulus, menjadi dosen, dan memiliki lokasi tugas yang tidak berjauhan dengan dirinya.

Dilema itu harus kita maklumi. Sesudah istrinya Jiyono, yang juga alumni A 1969 Sri Winarti (1a/2b/3b) meninggal dunia beberapa waktu lalu, praktis tinggal putrinya sebagai “dokter” pribadinya. 

Penyakit sebagai teman. Selama berbagi obrolan, kita bakal terilhami betapa gigih teman kita itu dalam upaya memperoleh kesembuhan. Ia mengembara ke pelbagai tempat, menemui pelbagai sumber, juga fasih mengetahui beragam  cara penyembuhan, baik yang palsu atau pun yang genuine,  yang ditawarkan di pasar pengobatan.

Merujuk pengalaman artis Rima Melati yang pernah divonis hidupnya tinggal beberapa bulan akibat penyakit kanker payudara dalam stadium lanjut, Bambang Sri Hartono menceritakan kiat Rima Melati dalam berjuang memperoleh kesembuhan. 


Katanya, "anggaplah penyakit itu sebagai kawan, bukan sebagai musuh." Kalau dianggap sebagai musuh, pola pikir kita selalu dalam keadaan situasi hostile, bermusuhan, dan hal itu jelas akan melemahkan daya tahan tubuh kita sendiri.

Sebagai penulis, mengacu kepada pengalaman diri sendiri, saya ajak Jiyono untuk menuangkan segala uneg-unegnya dalam bentuk tulisan. Writing therapy. Siapa tahu, ia akan pula mampu menulis biografi berisi cerita tentang kegigihan dirinya dalam memahami penyakit, sekaligus ikhtiar penyembuhannya. Jiyono bilang, di rumahnya sudah tersedia komputer atau laptop.

Bagi saya, saat itu saya senang mendengar Jiyono ketika bercerita penuh semangat dan fasih tentang pengelolaan pelbagai jenis tanaman hias di belakang rumahnya.

“Tamannya bagus,” komentar Bambang Sri Hartono dan Bambang Sadoyo, yang sempat melongok ke belakang.

Tanaman-tanaman itu bisa tumbuh bagus dan subur karena siraman cinta sang pemeliharanya. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah, Pengasih dan Penyayang, senantiasa membimbing teman kita Jiyono untuk memperoleh anugerah terbaik sebagai umatNya yang beriman.

Doa dan rasa cinta semua teman angkatan 1969, selalu tercurah untukmu, Jiyono, sahabatku.


Wonogiri, 9 Oktober 2012