Teman Kita Yang Telah Pergi Dalam Kenangan

Mereka, teman-teman sekolah kita itu, memang telah pergi. Menuju peristirahatannya yang abadi. Alangkah baiknya bila kita tidak begitu saja melupakannya.

Untuk mengenang teman-teman sekolah kita yang telah mendahului menghadap Sang Khalik, halaman ini dipersembahkan.

Apabila Anda memiliki data, informasi terbaru dan terutama cerita-cerita kenangan Anda terhadap mereka, silakan mengirimkannya ke : wonogirikita (at) gmail.com. Saya tunggu kontribusi Anda, agar bisa dibagikan untuk kita bersama.

Daftar ini disusun menurut abjad. Nama-nama yang dicetak berwarna, berarti sudah ada cerita tentang dirinya. Anda dapat menambahkannya. Matur nuwun.
 
Aria Nugroho (1a/2c/3b)


Budi "Budiman" Joko Waluyo (1a/2b/3a)
Esti Kuswandani (1a/2d/3b)
Sardianti (1c/2d/3e)
Sri Ningasih (1b/2b/)
Sri Wahyono (1a/2b/3c)
Sri Winarti (1a/2b/3b)
Siti Kusnijatun Hidajati (1b/2/3b)
Sudarto (1a/2a/3a)
Sukarsih (1d/2a/3d)
Sumarno (1d/2c/3e)
Tan Sing Kiat/Eko Hartono (1a/2c/3x)
Warsito (1a/2a/3b)
Yetty Yacomina Setyawati (3a)
Yunaningsih Setyawati (1c/2b/3c)



Aria Nugroho
1a/2c/3a

Reuni cantik. Tanggal 12 Juli 2012 dalam reuni mini tak terduga, saya memperoleh kabar bahwa teman kita Aria Nugroho [Lahir di Solo, 2 Oktober 1953] telah meninggal dunia. Reuni itu berlangsung di rumahnya Ninik Endang Wuryani di Kajen.

Tidak terduga karena saya sebenarnya ingin me-laundry jas di Ragil Laundry, bisnis rumahan dari mbak cantik kita yang satu ini. Sungguh ajaib, ternyata di sana sudah bertengger pula di beranda, teman sekelasnya Sugeng Sudewo yang juga teman SD saya.

Dari keduanya saya mendapat kabar tentang Aria Nugroho. Ketiganya saat menuntut ilmu di SMPN 1 sama-sama aktif dalam kepramukaan. Juga satu kelas, di kelas 1c dan 2c.

Sementara yang menautkan antara Aria Nugroho, Sugeng Sudewo dan saya, karena kami sama-sama bersekolah di SD 3 Wonogiri. Saya ingat, Aria Nugroho tinggalnya di Pokoh. Rumahnya saat itu mudah dikenali, persis di timur jembatan, selatan jalan.

Ayahnya, kalau tak salah ingat, guru atau kepala sekolah SMP Negeri 2 Wonogiri. Nugroho anaknya tampan, santun, mriyayeni, pintar, tidak braokan dan tidak senang gojek. Misalnya dibandingkan dengan teman satu SD yang lain seperti Priyambodo, Gino atau Wiryanto (yang sama-sama dari Pokoh) atau pun Isro' Michrodi asal Salak dan Haryanto dari Kerdukepik. Teman lainnya adalah Sri Wahyono dari Kajen.

Kena hukuman guru. Saya ingat dulu, ketika hampir seluruh murid laki-laki kelas VI bersepakat membolos untuk menonton latihan perang-perangan tentara di hutan Gunung Gandul, Nugroho tidak ikut-ikutan membolos. Jadinya ia terbebas dari hukuman yang diberikan oleh Pak Narwoto, sementara kami kaum pembolos harus deyek-deyek menulis  pengakuan dosa dan penyesalan berupa 100 kali janji untuk tidak akan membolos lagi :-(.

Kenangan indah lainnya tentang Nugroho, saya pernah ia pinjami buku kumpulan dongeng asal Rusia. Ada satu dongeng yang ingin saya praktekkan saat itu, tentang pencuri bayangan. Yaitu seseorang yang mampu menggunting bayangan seseorang, lalu menjahitnya untuk dijadikan pakaian. Dengan pakaian ajaib itu dirinya akan tidak kelihatan ketika melakukan aksinya.

Nugroho punya adik laki-laki, namanya Luki. Nugroho sama Luki itu kalau berbicara dengan bahasa kromo.  Sementara adiknya yang perempuan bernama Susi. Pernah bikin "heboh" Wonogiri.

Seingat saya, selain Susi yang satu kelas di bawah saya itu, daerah Pokoh kaya khasanah murid cantik lainnya. Endras  yang putri nDoro Daryatmo, Ratih (adik Sri Budiyatmi, teman sekelas saya) dan Nana yang anak pejabat kantor pertanian. Rumah Nana berada di depan rumahnya Priyambodo. Juga ada Henny, putranya Pak Budoyo, depan Gereja Kristen Jawa, Sanggrahan (saya pernah ketemu).

Saat di SD atau SMP, Nugroho bersekolah dengan naik sepeda. Cat sepedanya mengilat. Mungkin mereknya Phoenix, sepeda asal Cina yang ngetren saat itu. Saya pernah satu kelas di klas 3b, pernah sama-sama jadi murid kegiatan ekstra bahasa Inggris asuhan Pak Mufid, tetapi tidak begitu komplot dalam berinteraksi di SMP Negeri 1 Wonogiri.

Selepas masa-masa SMP itu, saya hanya dapat kabar Nugroho tinggalnya di Solo. Semoga kini sejahtera di sisiNya. [Bambang Haryanto, Wonogiri, 1 Agustus 2012].


Esti Kuswandani
1a/2d/3b


“Hari ini, 15 Agustus, adalah hari ulang tahun temanmu satu kelas, 1a, SMP Negeri 1 Wng. Kita doakan smg dia kini sejahtera disisiNya. Namanya : Esti Kuswandani.”

SMS di atas itu saya kirimkan ke Ninik Endang Wuryani (1a/2c/3a) dan Sugeng Sudewo (1a/2c/3a). Dengan mengubah kelas menjadi 2d, sms yang sama saya kirimkan kepada Sri Hadi Pramono (1e/2d/3e).

Anda masih ingat Esti Kuswandani ? Jauh sebelum menghuni satu kelas yang sama, klas 3b, saya justru sudah “mengenal” ayahnya, Bapak Soebardjo, Kepala Pegadaian Wonogiri.  Seingat saya, mungkin saat itu saya masih duduk di kelas 6 SD 3 Wonogiri, saya sering disuruh ayah dan ibu saya untuk menggadaikan perhiasan.

Dari rumah saya dibekali amplop, isinya surat dan sesuatu barang, lalu saya pergi ke pegadaian. Tentu saja, sebelumnya ayah dan ibu saya, sudah saling mengenal dengan Pak Bardjo.

Di kantor pegadaian saya tidak melewati konter depan. Tetapi dari pintu timur. Saya melewati jalan menanjak untuk masuk ke rumah dinas Pak Bardjo yang halamannya banyak ditumbuhi pohon pisang, melalui pintu pagar terbuat dari kawat berduri, lalu masuk pintu timur kantor pegadaian itu.

Amplop misterius. Pak Bardjo posisi duduknya di tengah ruangan yang memanjang. Ketika saya muncul di pintu, beliau nampak tersenyum. Lalu meminta saya masuk. Saya menyerahkan amplop, dan saya duduk menunggu di kursi tamu. Sekilas saya lihat-lihat gudang pegadaian. Beberapa waktu kemudian, beliau menyerahkan amplop kepada saya, dan sesudah mengucapkan terima kasih, saya pulang. Melalui jalur jalan yang sama.

Terus terang, saat itu saya belum tahu apa fungsi kantor pegadaian. Saya juga tidak tahu apa isi amplop yang saya serahkan dan amplop yang kemudian saya bawa kembali pulang dari kantor pegadaian itu.

Hanya saja, kadang saya ingat ibu atau ayah saya kalau bicara tentang pegadaian memunculkan istilah eksotis di telinga saya : bur.  Sambil ada nada cemas menyertainya. Belakangan saya baru tahu, barang-barang yang digadaikan bila tidak ditebus pada waktunya, maka si pemilik akan hilang hak kepemilikannnya. Barang itu akan dilelang, dan bur, istilah yang cocok untuk burung yang terbang dan tak kan pernah kembali.

Saat itu,entah kenapa, rumahnya Kuswandani ini selalu nampak sepi. Seingat saya, dia punya dua kakak perempuan. Umpama saya sudah mengenal Esti Kuswandani, mungkin saya –karena malu—tidak mau lagi disuruh ayah atau ibu saya untuk ke pegadaian.

Seingat saya pula, Kuswandani yang dilahirkan di Sragen, 15 Agustus 1954, orangnya periang. Selain Muhamad Nurdin (1b/2c/3b) dan Aria Nugroho (1a/2c/3b), Esti Kuswandani dan saya ketika duduk di kelas tiga telah ditunjuk oleh guru bahasa Inggris saat itu, Bapak Mufid Martohadmodjo, untuk ikut dalam kelompok percakapan.

Setiap Rabu sore, duduk melingkar di atas tikar, di bawah pohon waru dekat jalan masuk pintu utara, kami berkumpul. Kemudian sama-sama belajar bercerita dan bercakap dalam bahasa Inggris.

SMS saya di atas memperoleh balasan. Sri Hadi Pramono bilang : "Amin ya robal alamin." Sementara Sugeng Sudewo menulis : "Ya kemarin saya lupa teman kita yg sdh almarhum : Kuswandani & Yunaningsih. Kita doakan semoga diterima disisiNya." Sementara Ninik Endang Wuryani berdoa :  “Ya semoga dia bahagia disisiNYA.”

Semoga demikian pula doa kita semua untuk Esti Kuswandani, teman sekolah kita yang kini  telah bur menuju keabadian.

(Bambang Haryanto/17 Agustus 2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar