Senin, 25 Februari 2013

"Are You Sleeping, Brother John ?" Dalam Catatan Kenangan Seorang Jenderal Asli Wonogiri


Oleh : Gunadi MDA
Laksamana Madya (Purn) TNI-AL

Klas 1b/2d/3b
SMP Negeri 1 Wonogiri 1967-1969



Sekolah kebanggaan. Setelah resmi pensiun dari Irjen Kementerian Pertahanan pada bulan Maret 2012 , agenda penting pertama di awal sebagai pengangguran adalah melaksanakan safari darat. 

Menjelajah dari Jakarta ke Surabaya melalui kampung halaman di desa Selorejo Girimarto Wonogiri dalam rangka bernostalgia.  

Kenapa demikian, karena Wonogiri adalah tanah tumpah darah tercinta. Sedang Surabaya adalah rumah kedua. Sepanjang 25 tahun umur saya terlewati di Kota Buaya itu. 

Mulai dari saat masuk pendidikan di Akabri Laut tahun 1974 hingga berdinas di Angkatan Laut, diantaranya 17 tahun sebagai penerbang TNI AL.   

Tahun 1997 meninggalkan Surabaya ke Sri Lanka sebagai Atase Pertahanan. Kembali lagi ke Surabaya sebagai Komandan Lantamal pada tahun 2004.   Baru pada tahun 2006 pindah tugas ke Jakarta hingga pensiun.  

Safari kenangan di desa sudah barang tentu merupakan momen yang “sesuatu” banget.    Ketemu saudara, kawan lama, mengunjungi tempat-tempat berkesan dan ngelamunin masa lalu.   Di Wonogiri, sasaran kunjungan terpenting adalah sekolah yang sama-sama kita banggakan.   

Sayang saat itu belum kenal blog  wng69.blogspot.com ini, sehingga belum bisa merancang acara ketemu teman-teman.    Selama sekitar 7 tahun di Jakarta, teman SMP yang pernah ketemu cuma mas Dewo dan mas Gembong serta mas Singgih yang beberapa kali nyambangi ke rumah.   


Satu hal yang sangat berkesan saat di Wonogiri, ternyata di open lobby Hotel Diafan, pemandangannya luar biasa.   Saya dan istri sempat berpose sambil menikmati pemandangan yang sangat bagus, merasa seakan bukan di Wonogiri tapi di tempat indah entah dimana.

Masa-masa SMP. Berangkat dari desa Selorejo melanjutkan studi ke Wonogiri diantar ibu, mondok di rumah rekan kita Budiman (alm) di Juranggempal  masih jelas di ingatan.   Anak desa yang jarang pergi, umur 12 tahun, sudah harus berpisah dengan orang tua. Malam hari setiba di Wonogiri, diantar Budiman kerumah pak Hartoyo (Kepala Sekolah) mengantar oleh-oleh makanan desa (jadah, wajik dll). Kebiasaan di desa dibawa ke Wonogiri.  
 

Selama di SMP tidak banyak peran yang saya mainkan, karena setiap Sabtu siang, setelah selesai pelajaran, buru-buru nyari kendaraan pulang ke desa.   Nunggu kendaraan di depan Gudang Garam, dapat bus kalau beruntung, naik truk yang lebih sering.    Dengan demikian selama 3 tahun tidak banyak tempat di sekitar Wonogiri yang saya akrabi. 
     
Tetapi ingatan kepada Pak Gon yang ngajari nyanyi “Are You Sleeping,” Pak Suyadi (Suyadi B ?- Betul. BH) yang sering ke rumah dakwah agama Kristen,  Pak Margono yang waktu ujian masih sempat membetulkan jawaban saya, dan guru lainpun masih ada yang nyantol di kepala.   Barangkali memang tidak sejelas ingatan rekan-rekan, karena setelah lulus SMP langsung kabur jarang pulang kampung.   


Melanjutkan SMA di Bandung, karena bapak almarhum minta saya nantinya masuk ITB jadi insinyur, walau pun akhirnya malah belok jadi tentara.    Anak pertama saya yang akhirnya meneruskan cita-cita ayahnya ke ITB.   Sayang selama di Bandung dia tidak sempat ketemu mas Nurdin walaupun berkali-kali saya minta untuk mencari.   Mungkin segan karena tidak satu jurusan.
 

Pengalaman di Pekerjaan.  Tantangan dan gemblengan selama masa kecil di Wonogiri, ternyata menjadi modal yang sangat berarti bagi karier saya selanjutnya. Selama menjadi tentara maupun setelah berada di Kementerian Pertahanan (sebagai Dirjen Perencanaan Pertahanan, Dirjen Sarana Pertahanan dan Irjen), saya tidak pernah menghadapi masalah, karena masa kecil saya ibarat sudah berada di Kawah Candradimuka.   

Hidup penuh perjuangan dan serba kekurangan selama di Wonogiri, menjadikan saya orang yang tahan banting, tahan tekanan dan tahan godaan di pekerjaan. Kondisi Wonogiri yang dulu tandus, miskin, penuh tantangan, menurut saya justru merupakan berkah tersendiri.  
 

Pada kesempatan memberikan sambutan di satu acara pertemuan warga Wonogiri di Jakarta (hadir para Dirjen, Sekjen, pengusaha dan tokoh-tokoh asal Wonogiri lainnya, juga Bupati saat itu pak Begug) saya sampaikan bahwa kondisi Wonogiri mirip dengan China dekade 70-an.   

Hidup serba susah karena tanahnya gersang.   Kalau dengan kondisi demikian China akhirnya bisa melahirkan orang-orang yang ulet dan sukses, mestinya Wonogiri juga bisa.   Itu akan terbukti apabila orang Wonogiri berbaur dan bersaing dengan orang dari daerah lain yang kondisinya  lebih baik.  
 

Bukan mau menyombongkan diri, tetapi saya merasa bahwa saya sudah membuktikan premis tersebut.   Dulu saya di Wonogiri tidak pernah bisa berprestasi apa pun.Di SMP, belajar hanya kalau liburan minggu tenang persiapan ujian.   Itu pun belajarnya di bawah pohon kelapa di pinggir Bengawan Solo.   Bagaimana mau pinter ?   Setelah berada di SMA dan sekolah lainnya (setelah SMP masih melalui 9 sekolahan), dimana belajar merupakan keharusan, ternyata anak Wonogiri tidak kalah dengan anak lainnya.  
 

Saya yang waktu di desa dulu sering makan tiwul dengan ikan asin, sewaktu di SMA dikenal bukan saja oleh teman seangkatan, tetapi juga oleh kakak-kakak dan adik kelas karena hasil kerja saya untuk sekolah. Sekarang pun masih menjadi Pelindung Alumni SMA. Di Korps di Akabri, di Sekolah Komando Kesatuan TNI AU, di Seskoal, bahkan di Lemhannas, saya berhasil lulus di urutan pertama.   
 

Saya hanya salah satu putra Wonogiri yang menjadi jenderal.   Masih banyak jenderal lain dari Wonogiri.  Putra-putri Wonogiri yang sukses di bidang lain juga sangat banyak.   Di Jakarta ada beberapa ikatan keluarga Wonogiri, salah satunya adalah Pakari. Pakari (Paguyuban Keluarga Wonogiri), dimana saya sebagai pelindung, juga merupakan wadah putra-putri Wonogiri yang sukses di Jakarta.   

Pakari terus berbuat untuk tanah kelahiran, Wonogiri. Pada ulang tahun Wonogiri beberapa tahun lalu, selain ikut program penghijauan, Pakari memeriahkan dengan berbagai acara, diantaranya mendatangkan beberapa pesawat terbang militer untuk melintas saat acara ulang tahun di Wonogiri dan olah raga air di Waduk Gajah Mungkur dipimpin prajurit-prajurit Marinir TNI AL.   


Setiap hari raya, Pakari mengusahakan bus untuk warga Wonogiri mudik gratis.  Di musim kering tahun 2012 Pakari menyumbang air bersih untuk daerah Wonogiri Selatan. Dan yang sedang berjalan, Pakari mendirikan Taman Bacaan Masyarakat di desa-desa. Saya sendiri telah menyumbang satu perpustakaan di desa yang diresmikan Bupati Danar Rahmanto.  
 

Di Pakari, saya pernah mengupayakan untuk membuat satu buku kisah sukses warga Wonogiri perantauan.   Buku ini rencana dibagikan ke sekolah-sekolah di Wonogiri untuk memacu motivasi anak-anak agar lebih maju.   Warga sukses bukan hanya diartikan yang berhasil jadi jenderal, Sekjen, Dirjen atau pejabat lainnya.   Warga sukses juga termasuk profesi-profesi lain seperti usahawan, misalnya pedagang bakso yang berhasil menasional.  
 

Bakso pak Slamet “Titoti” asal Ngadirojo sudah banyak memiliki cabang besar di Jakarta.   Bahkan “Bakso Lapangan Tembak” yang memulai jualan dengan pikulan saat ini telah memiliki lebih dari 140 cabang. Mereka termasuk profil sukses yang perlu kita ceritakan karena telah memajukan ekonomi daerahnya dan mengharumkan nama Wonogiri. Pakari juga sedang merencanakan mendirikan perguruan tinggi di Wonogiri. Siapa mau partisipasi?


 photo Gunadi2_575_zps65328b62.jpg  


Keluarga yang adem-ayem. Bukan karena Wonogiri kekurangan gadis cantik, tetapi Tuhan menakdirkan saya berjodoh dengan orang Sumatera.   Walaupun demikian, bahasa Jawanya tidak kalah dengan orang Wonogiri asli.   Kalau pun pada awal perkawinan sering terjadi salah pengertian kalau saya berbicara bahasa Jawa, itu dulu.   

Dua anak, laki-laki dan perempuan juga telah melengkapi kehidupan saya.   Dua cucu yang manis-manis menambah semaraknya hari tua yang saya jalani.   

Alhamdulillah anak-anak tidak pernah mengenal dugem, rokok, apalagi narkoba, walaupun mereka anak seorang Jenderal, hidup di kota besar, termasuk tinggal tahunan di luar negeri.    Satu hal lain yang kami miliki adalah kedekatan dan kekompakan.   Walaupun mereka sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing, tetapi selalu ada momen bersama setiap minggu.    Makan diluar selalu bersama, keluar kota, selalu berdelapan, makanya ada niat beli minibus yang muat 8 orang, supaya kebersamaan ini tidak ada jaraknya.    


Pensiun bukan berarti akhir dari segalanya.   Pepatah mengatakan  life begin at forty.    Saya memodifikasi menjadi life begin at fifty eight.   Setelah pensiun di usia 58 saya memulai karier baru. Berkebun, bisnis kecil-kecilan, dan membantu teman di perusahan sebagai Preskom, termasuk menjadi komisaris di perusahaan milik pengusaha sukses asal Wonogiri.   


Biar tua, juga harus sehat, jasmani dan rohani.   Renang, sepedaan, golf, karaoke, main saxophone, ditambah dengan membuat komunikasi dengan teman-teman lama, terutama nantinya dengan teman-teman angkatan 69 SMPN I Wonogiri. 

Kebersamaan di SMPN 1 Wonogiri dengan rekan-rekan telah pula mengisi memori saya, dan semoga kebersamaan akan terulang di waktu mendatang.  Terima kasih mas Bambang, yang telah menyediakan wadah bagi kita untuk bisa bersilaturahmi melalui dunia maya. Salam buat rekan-rekan dan keluarga.   

Kita doakan mereka yang telah lebih dulu menghadap Yang Kuasa, semoga diberi tempat yang paling indah di sisi-Nya. Jangan lupa, kitapun sudah dalam antrian.   Sambil ngantri, mari kita isi dengan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan bagi sesama.   Amin.       

Terima kasih almamater, terima kasih para guru, jasamu tidak akan pernah mampu saya balaskan.





Jakarta, 26 Februari 2013   
(hari ulang tahun saya ke 59)