Kamis, 18 Oktober 2012

Angka 4 Di Raporku dan Guru-Guru Dalam Kehidupanku

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirikita (at) gmail.com



Hari Guru Sedunia 5 Oktober 2012.  Siapa Saja Guru-Guru Yang Telah Ikut Membentuk Diri Anda Hingga Seperti Saat Ini ? 

Di Facebook, saya mencoba membuat daftar para guru yang paling saya ingat, yang berjasa dalam kehidupan saya selama ini. 

Bukan berarti guru-guru yang lain tidak memiliki jasa, tetapi ada hal-hal khusus yang dapat saya kenang dari mereka.Inilah daftar sebagian guru-guru saya (tidak semuanya berprofesi guru) yang bisa saya ingat :
  

(1) Ibu Suji, guru TK Nasional, di Kajen, Wonogiri. Beliau tinggal di Solo, pulang pergi naik kereta api uap. Bekas lokasi taman kanak-kanak itu kini menjadi bagian dari komplek pabrik jamu Air Mancur, di Kajen. Rumah paling timur, yang dulu dimiliki oleh keluarga Pak Dirjo.

Melihat sosok Ibu Suji tampak dari kejauhan, sudah menerbitkan kegembiraan bagi kami para murid-muridnya. Saat itu saya bersekolah bersama Liliek Dwi Sularyanto (
1c/2b/3c).



(2) Pak Hadi Narwoto, guru saya klas 5 dan 6 SDN 3 Wonogiri. Saat itu ada acara ronda di sekolah, ada beberapa murid lelaki yang diminta untuk berjaga di sekolah. Oleh beliau saya dipercaya untuk membawa kunci lemari sekolah.

Muncul niat jahil, yaitu saya bisa membaca-baca isi rapor teman-teman yang numpuk di lemari. Tetapi juga menemukan buku-buku bacaan menarik yang teman lain tidak memiliki akses terhadapnya.

(3) Pakde Sutono. Ini guru, kakak ibu saya, tinggalnya di Kedunggudel, Sukoharjo, bersama embah saya Martowirono, bayan. Entah siapa yang melakukan, salah satu pojok ruang tamu rumah itu ada rak yang berisi majalah dari Departemen Sosial, juga majalah Penyebar Semangat, dan buku yang paling saya ingat, Babad Pacitan.

Setiap kali dari Wonogiri berkunjung ke Kedunggudel, pojok favorit itu menjadi sasaran : baca-baca komik Phantom dan kartun Pak Klombrot di majalah Penyebar Semangat.

(4) Bapak saya, Kastanto Hendrowiharso. Seorang TNI, tugasnya di Yogya. Sejak klas 4-5 SD, saya hanya punya ayah tiap Sabtu sore sampai Senin pagi. Sebagai anak pemalu, setiap saya butuh dibelikan buku untuk pelajaran atau bacaan, saya menuliskan datanya di secarik kertas. Lalu saya masukkan ke kantong baju seragamnya. Bacaan favorit saat itu, serial Nogososro-Sabukinten. Buku ini sering menjadi pertukaran cerita dengan teman SD saya, Sugeng Sudewo (1a/2c/3a).

Hari Sabtu depan, engga usah ngomong, saat ayah saya tiba di rumah sekitar jam 2 siang (saya jemput di terminal bis), langsung saya membuka-buka tas beliau. Kalau di dalamnya ada buku roman sejarah  karya SH Mintardja tersebut, langsung saya baca. Menjelang Maghrib, buku itu sudah selesai saya baca.

Ada cerita tambahan. Karena terpikat oleh ilustrasi dalam novel itu yang dibuat oleh Kentarjo, saya pernah oleh dimarahi Pak Mulyono Wasto, guru menggambar SMP Negeri 1 Wonogiri. Pasalnya, saat itu dalam karya gambar saya dipojoknya  saya beri simbol "KEN" yang tertulis diputar ke kanan 90 derajat, sehingga membentuk gambar "rumah." 


Pak Mulyono Wasto, yang terkadang masih saya temui ketika sama-sama jalan kaki di pagi hari, menanyai saya :  "Apakah Anda seorang Kentarjo ?" Saat itu pula saya baru bisa ngeh atau faham bila gambar rumah itu merupakan inisial dari sang ilustrator : Kentarjo. Matur nuwun, Pak Mul.

(5) Ibu saya, Sukarni, wiraswastawan. Sebagai istri tentara, ia berlangganan majalah Kancana/Kartika Chandra Kirana. Karena sering mendengar guyonan ayah dan ibu saya, guyonan itu saya catat, lalu saya kirimkan ke majalah itu.

Saat itu saya duduk di klas 1 SMPN 1 Wonogiri (1967), ternyata lelucon yang saya kirimkan itu dimuat dan memperoleh honor. Kalau tidak salah ingat, saat istirahat saya meminjam sepedanya Riyanto (1b/2b/3b), untuk pergi meminta tanda tangan pengesahan ke kelurahan Giripurwo (di Kerdukepik). Kemudian menguangkannya di kantorpos, di Ponten. 


Besar honor untuk dua lelucon sebesar Rp. 200,00. Kalau SPP saya saat itu sebesar Rp. 5,00/bulan, maka betapa besar honor lelucon tersebut. Terkait lelucon itu, pada setiap kesempatan,walau saya mendengarnya dengan malu-malu, senang juga setiap kali ibu saya mengutip isi lelucon saya yang termuat di majalah Kancana itu. Di masa depan, ternyata saya mampu menulis 4 buku tentang lelucon juga !


Bambang Haryanto : Rapor Klas 1B SMP Negeri 1 Wonogiri 1967, Guru yang berpengaruh dalam hidupku : Bapak Sutomo, guru pelajaran administrasi, saat saya klas 1 SMPN Wonogiri. Sebelum masuk SMP, saya sudah dengar betapa beliau ini guru yang galak.Tetapi, entah kenapa, saat tes pelajaran beliau, saya menyontek.Menulis jawaban di telapak tangan. Saya ketahuan, dan nilai rapor saya : 4.Agar tidak menyontek lagi, saya mengadakan "revolusi" belajar. Setiap pulang dari sekolah, tiap-tiap mata pelajaran hari itu saya tulis kembali dalam bentuk butir-butir pertanyaan. Lalu jawabannya pun juga disajikan secara tertulis. Kebiasaan ini akhirnya menjadi kecintaan, hingga kini. Terima kasih, Pak Tomo. 


(6) Bapak Sutomo, guru pelajaran administrasi, saat saya klas 1 SMPN Wonogiri. Sebelum masuk SMP, saya sudah dengar betapa beliau ini guru yang galak.Tetapi, entah kenapa, saat tes pelajaran beliau, saya menyontek.Menulis jawaban di telapak tangan. 

Saya ketahuan, dan nilai rapor saya di catur wulan pertama untuk pelajaran beliau merah : 4 (foto di atas). Syukurlah, di catur wulan ketiga, angkanya sudah menjadi tujuh.

Agar tidak menyontek lagi, saat itu saya mengadakan "revolusi" belajar. Setiap pulang dari sekolah, tiap-tiap mata pelajaran hari itu saya tulis kembali dalam bentuk butir-butir pertanyaan. Lalu jawabannya pun juga disajikan secara tertulis. Kebiasaan ini akhirnya menjadi kecintaan, hingga kini. Terima kasih, Pak Tomo.

(7) Bapak Anggono Yudho. Nama populernya : Pak Gon. Saat saya klas 2a, beliau mengajar klas 3 untuk pelajaran bahasa Inggris. Karena guru bahasa Indonesia berhalangan, beliau masuk kelas saya dan menyuruh murid-murid menulis puisi. 


Beberapa hari kemudian puisi saya ternyata ikut beliau tempelkan di majalah dinding sekolah. Kepala ini terasa "meledak" saat itu dan nyala kegembiraannya masih hidup sampai saat ini.


(8) Bapak Mufid Martohadmodjo, guru bahasa Inggris, saat saya duduk di klas 3B SMPN 1, 1969. Beliau mengumpulkan sebagian muridnya yang beliau pandang menyukai pelajaran tersebut. 

Antara lain, Muhammad Nurdin (kini guru besar di ITB), Aria Nugroho, Esti Kuswandani (keduanya sudah almarhum), saya dan teman lainnya, untuk belajar percakapan bahasa Inggris. 

Dengan menggelar tikar di halaman sekolah, bagian utara. Di bawah pohon waru. Setiap Rabu sore. Saat itu saya menyontek cerita dari ayah saya, tentang penjual arang yang salah faham dalam menanggapi permintaan maaf seorang bule. 

Bule itu bilang, "I'm sorry," tetapi ditanggapi si penjual arang dengan sikap marah. Dengan ucapan : "Ora esuk, ora sore, aku yo wani yen mung padu karo kowe !"

Pak Mufid beberapa bulan lalu masih saya temui di Perpustakaan Wonogiri. Foto di atas dijepret tanggal 27 November 2008.  Bahasa Inggris saya sampai saat ini masih jelek, pernah engga lulus TOEFL. Tetapi embrio semangat untuk memperoleh asupan informasi dunia melalui bahasa itu, tetap membara.

(9) Pak Ibnu, guru aljabar di jurusan mesin STM Negeri 2 Yogyakarta, 1970. Beliau kalau sewot, menyebut kami-kami sebagai berotak "gombal." Dulu sih ya sakit hati, tetapi sebagaimana Nora Ephron atau Caroll Burnett bilang kalau tragedi + waktu = komedi, maka predikat "gombal" itu kini bisa sebagai sumber senyum-senyum nostalgia.

(10) Pak Sukartolo, guru bahasa Inggris, di jurusan mesin STM Negeri 2 Yogyakarta, 1970-1972. Guru yang nyentrik. Walau di STM tidak ada tuntutan kuat untuk menguasai bahasa ini sebagai syarat kelulusan, tetapi benih cinta yang beliau semaikan terhadap bahasa ini terus bersemi di lubuk hati.

(11) Ibu Lily Koeshartini Somadikarta, dosen saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan-Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1980-1984. Kata mutiara dari beliau yang mengutip ucapan Isaac Newton ("berdiri di punggung raksasa") dan Samuel Johnson ("pengetahuan itu ada dua jenis"), selalu terpateri di sanubari ini. 


Juga penerimaan beliau terhadap mahasiswa satu ini, yang sering berkata dan berulah secara tidak lajim, menunjukkan betapa jiwa seorang guru yang mendidik untuk membebaskan, benar-benar tersemat dalam diri beliau.

(12) Juga untuk semua guru, guru bagi kehidupan saya selama ini.


Wonogiri, 18 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar